Monday, 28 March 2016

Kubur yang Kosong dan Kain yang Digulung Rapi

Sejak penyaliban Guru, Tante Maria menginap di rumahku. Keletihan batin dan fisik yang beliau alami membuat beliau tidak siap untuk diantarkan pulang ke Galielea. Sebetulnya bukan hanya Tante Maria yang seperti itu, aku dan murid murid Guru yang lain pun sama keadaannya.

“Silahkan dimakan rotinya,” kata ibuku dengan lembut kepada Tante Maria.

Tante Maria mengambil roti yang disodorkan ibuku. Digigitnya dan dikunyahnya. Namun dari ekspresi wajahnya, beliau seperti memakan obat yang pahit dan bukan roti yang empuk.
Ibuku merangkul Tante Maria. Aku bersyukur bahwa di tengah kedukaan ini, ibuku bekerja keras untuk membawa rutinitas dan kenormalan kepada kami.

Tok tok tok

Tiba tiba terdengar ketukan di pintu rumahku. Kami bertiga saling perpandangan dengan tatapan panic. Siapakah itu ? Prajurit Romawi ? Preman sewaan kaum Farisi ?

“Yohanes! Buka pintu. Ini Petrus !” terdengar suara yang tidak asing di telingaku

Begitu aku membuka pintu, Petrus langsung menyerbu masuk diikuti dengan Magdalena . Melihat Tante Maria, Magdalena  langsung menghampiri dan memeluk beliau. Petrus pun memelukku sambil berbicara dengan kecepatan tinggi. Pertama tama aku tidak memahami apa yang ia katakan karena ia sangat emosional. Namun kemudian aku mengerti apa yang ia ucapkan.

“Mayat Guru dicuri?” tanyaku

“Magdalena saksinya,” jawab Petrus

Magdalena pun menyambung perkataan Petrus,”Kami datang pagi buta ke kuburan untuk mengurapinya jasad Guru. Tapi begitu sampai di sana, kami lihat batu penutup kubur sudah terguling. Dalamnya kosong, hanya ada kain kafan yang sudah terbuka,”

Mendengar perkataan itu, maka aku pun mengambil mantelku, memakai sandalku dan bersiap-siap pergi.Aku minta ijin kepada ibuku dan Tante Maria. Maka Petrus dan aku bergegas ke kubur Guru, sedangkan Maria Magdalena memilih diam di rumahku untuk berbincang bincang dengan ibuku dan Tante Maria.

Kami berlari menuju ke kubur guru, di Taman Yusuf dari Arimatea, tidak jauh dari bukit Golgota. . Petrus lari di depanku, namun secara perlahan tapi pasti aku menyusulnya. Sambil berlari, aku bertanya di dalam hati mengapa jasad Guru hilang. Apakah dicuri oleh prajurit Romawi atau antek antek orang Farisi? Apakah mereka tidak bisa membiarkan Guru beristirahat dengan tenang? Ataukah Guru menghilang karena Dia hidup lagi? Aku ingat kebangkitan Lazarus serta anak perempuan Yairus. Entahlah yang mana yang sebetulnya terjadi. Aku sungguh tidak tahu.


Akhirnya sampailah aku di kubur Guru. Mendadak gemetarlah aku melihat gua kuburan yang terbuka itu . Aku berhenti di depan kubur kosong. Dari luar aku mengintip ke dalam. Terlihat kain kafan pembungkus jasad Guru tergeletak di tanah. Hidungku berusaha mendeteksi apakah ada bau busuk di dalam gue itu. Tidak, tidak kucium setitikpun bau tidak sedap. Aku hanya mencium wangi residu rempah-rempah yang berasal dari kain kafan Guru.

Kembali benakku sibuk memikirkan kemungkinan kemungkinan yang  terjadi. Mengapa pencuri jasad Guru perlu membuka kain kafanNya? Mengapa mau repot repot ? Bagaimanakah mereka membawa jasad Guru jika kafaNnya sudah dibuka. Bukankah itu sangat mengerikan?  Mungkinkah mereka membawa peti  untuk memindahkan jasaNya ? Atau …Apakah Guru bangkit seperti anak Yairus atau Lazarus?

Di tengah kegalauan pikiranku, sampailah Petrus. Ia menyerbu masuk ke dalam gua kuburan Guru.
“Hanya ada kain kafan!” gumam Petrus

 Dengan hati berdebar aku pun masuk. Kuburan itu gelap, namun tidak gulita. Aku mendekati kain kafan yang tergeletak di tanah , yang dinodai oleh bercak bercak darah serta rempah rempah penguburan. Aku terhenyak di tanah dan memegangi kain kafan itu. Beberapa tetes air membasahi kain kafan itu. Air mataku.

“Yohannes, apa yang sebetulnya terjadi ? “ tanya Petrus sambil menghentakkan kakinya. “Kamu kan murid yang dikasihi Guru, apakah pernah Dia memberikan petunjuk mengenai hal ini? “

Petrus terlihat sangat frustasi dengan raut wajah kebingungan.

“Jika Guru bernasib seperti ini, apa jadinya dengan kita nanti ? “gumamnya lagi

Aku letakkan kain kafan itu ke tanah. Namun kemudian mataku tertuju kepada sebuah gulungan kain yang terletak di pojok dinding gua. Kain tersebut juga ternodai dengan darah, namun digulung dengan rapi seperti tabung. Hatiku yang tadinya remuk berkeping keeping , kini tiba tiba seperti menyatu kembali, lalu meloncat loncat karena melihat gulungan kain itu.

“Petrus, Guru sudah bangkit,”

Petrus terbelalak dan mulutnya menganga. Aku tersenyum. Sebagai murid yang dikasihi oleh Guru, aku sungguh dekat dengan Beliau. Terkadang aku menginap di rumah Guru di Galilea. Guru adalah seorang yang rapi dan teratur. Setelah menggunakan kain untuk mengeringkan wajahNya sehabis mencuci muka atau setelah menggunakan serbet untuk mengelap wajahNya dari remah remah makanan, Guru selalu menggulung kain atau serbet itu dengan rapi. Bahkan setelah mencuci kakiku pada saat makan malam terakhir, Beliau tetap menggulung handuk pengeringnya dengan rapi. Aku masih ingat itu… Dan kain ini..pasti digulung oleh Guru. Berarti Ia sudah bangkit. Tidak ada yang mencuri jasadNya. Ia bangkit. Seperti Lazarus saudara Maria dan Martha. Seperti anak perempuan Yairus. Guru bangkit dari kematian.

Petrus masih tercengang dan terbelalak.

“Ayo pulang. Aku ingin sampaikan kabar gembira ini kepada Tante Maria,” kataku.


Maka pulanglah kami meninggalkan kubur yang kosong dan kain yang digulung dengan rapi itu. Aku tersenyum di sepanjang jalan. Bagaimana dengan Petrus ? Ia tetap tercengang. 

Maret 28,2016 oleh Tirsa Tan
gambar diambil dari website http://worshiphousemedia.s3.amazonaws.com/ dan mudpreacher.org
                                             

No comments:

Post a Comment