Friday, 25 March 2016

PEDANG UNTUK MARIA


Mata Maria sembab dan perih. Air matanya sudah habis. Hanya sengukan tangis yang terdengar dari mulutnya. Tidak jauh di depannya, tiga buah salib tegak di atas bukit Golgota. Anaknya berada di tengah, dengan dua orang penjahat di samping kanan dan kirinya. Dari tempat di mana ia bersujud, rupa Anaknya sudah tidak bisa dikenali. Wajah Anaknya yang tampan penuh dengan bengkak, memar dan luka. Darah segar tak henti henti mengucur dari keningnya yang ditusuk mahkota duri.  

Maria ingat ketika Anaknya lahir di kandang domba di kota Betlehem. Angin malam membuat bayi Yesus kedinginan walaupun ia dibungkus dengan lampin. Maria menggendongNya dan mendekapNya di dadanya. Ia mencium keningNya yang mungil. Tidak pernah terlintas di benaknya bahwa di kemudian hari, 33 tahun kemudian, kening itu berlumuran darah.

Ingin Maria memanjat salib itu dan menurunkan Anaknya. Kemungkinan besar Anaknya tidak akan tahan lama, mengingat pukulan, cambukan, dan luka luka yang dideritaNya. Namun mati di tanah , ditemani dengan segelintir orang yang mengasihi Dia, jauh lebih baik daripada kematian di atas salib itu.
Perlahan tapi pasti, Maria mendekati salib itu.  Jika ia tidak bisa menurunkan Anaknya, paling tidak ia berusaha berada sedekat mungkin dengan salib itu.

“Mundur ! “kata seorang prajurit menghentakkan pedangnya di depan Maria. Ia tidak ingin Maria menyentuh Yesus.

Terhenyak kaget, Maria pun mundur. Hatinya pecah berkeping-keping. Sepertinya ia ingin berkata bunuh aku saja tapi turunkan Anakku. Apa salahNya , sampai Dia dihukum seperti itu ? Dia bukan penjahat.Namun Maria tidak bisa menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya. Kilatan logam dari pedang memerintakannya untuk menelan perkataannya. Kilatan pedang yang sama membawa Maria kepada sebuah peristiwa di masa lampau ketika ia dan almarhum Yusuf membawa Yesus untuk ditahirkan di bait Allah. Seorang kakek tua bernama Simeon mendatangi mereka. Ia berkata bahwa Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan  atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan. Kepada Maria kakek Simeon berkata bahwa sebuah pedang akan menembus jiwanya sendiri.

Tuhan…inikah pedang itu? Melihat Anakku di atas kayu salib, dengan tangan dan kaki dipaku ? Kenapa ya Tuhan? Sejak Anakku berumur dua belas tahun dan menginap dua hari di Bait Allah, aku mengerti bahwa Ia berbeda. Aku mengerti bahwa Ia punya panggilan khusus. Aku mengerti bahwa Ia terkadang dianggap orang sebagai orang gila atau kerasukan roh jahat. Aku mengerti bahwa panggilanNya sungguh berbeda dengan apa yang aku duga.

Terdiam, Maria membisu. Namun hatinya bergemuruh kepada Allah. Tuhan, apakah ini perlu Tuhan? Apakah yang Dia lakukan sampai harus seperti ini ?



Maria sudah tidak tahan lagi. Ia bangkit dan menghampiri prajurit yang tadi menyuruhnya mundur.

“Apa yang diperbuat Anakku , sampai Ia diperlakukan seperti itu ?” teriaknya dengan suara yang parau

Prajurit itu diam. Tidak bisa menjawab pertanyaan Maria.

“Jawab aku !” teriaknya sambil disertai erangan dan sedu sedan. Seseorang menariknya dari belakang. Maria yang sebetulnya sudah lemah karena seharian tidak makan atau minum , pasrah dan mengikuti tangan yang menariknya. Prajurit yang diteriaki Maria merasa lega karena  perempuan setengah baya itu sudah tidak mencercanya lagi.

“Itu ibunya,” kata prajurit yang lain

“Oh…pantas,” jawab prajurit itu

Yohaneslah yang menariknya, murid kesayangan Yesus. Murid yang lain sudah terpencar. Semuanya lari dan menyembunyikan diri. Tidak menyangka bahwa guru mereka mau diperlakukan seperti itu. Mau ditangkap, dianiaya, diadili, dan disalib. Kalau Ia mau, dengan mudah Ia bisa melarikan diri. Berjalan di atas air dan  meredakan badai pun Ia sanggup. Melakukan keajaiaban adalah pekerjaanNya sehari-hari.  Tapi sayangnya, dalam hal ini, gurunya seperti domba yang ditarik ke tempat sembelihan. Tidak berdaya.

Di atas salib itu, bibir Yesus yang kering bergerak gerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Yohanes menggandeng Maria mendekatiNya.

“Ibu..,” katanya dengan napas yang tersengal. Mungkin karena menanggung sakit akibat luka dan tikaman penganiayaan di seluruh penjuru tubuhnya. “Inilah… anakmu,”

Yesus seperti menganggukan kepalaNya. BibirNya yang pecah itu sepertinya tersenyum kecil.
“Inilah ibumu,” sambungNya. Yohanes mengerti bahwa perkataan itu adalah untuk dirinya. Yohanes menganggukan kepalanya. Ia menerima perkataan gurunya tersebut.


 Walaupun dicambuk, dipaku, disalib, dianiaya, dan dipermalukan, Yesus tetap Yesus. Ia tetap memperhatikan dua orang yang sangat dikasihiNya, Maria dan Yohanes. Meskipun pedang itu menancap di jiwa Maria, Yesus berusaha supaya luka di jiwa ibuNya sembuh. Di tengah penderitaan yang harus ditanggungNya, Yesus masih berusaha menguatkan Maria dan Yohanes.

Mereka kembali menegadahkan kepala untuk melihat Yesus yang mereka kasihi terpaku di atas kayu salib. Seorang prajurit mengulurkan spons basah ke mulut Yesus dengan bantuan galah yang panjang. Yesus yang kehausan menyambut spons itu, namun kemudian ia memalingkan kepalanya. Ternyata spons itu bukan dibasahi dengan air,melainkan dengan anggur asam.

“Sudah selesai !” itu perkataan Yesus yang terakhir di kayu salib. Ia menghembuskan nafas terakhir. Kepalanya pun terkulai.

Maria menarik napas lega. Ia lega bahwa Anaknya sudah pergi. Ia lega mendengar Anaknya berkata sudah selesai. TugasNya telah selesai. Sambil menatap jasad Yesus di kayu salib , mata hati Maria menatap sebuah pemandangan di masa yang lampau, 33 tahun yang lalu , ketika kakek Simeon menggendong Yesus kecil di bait Allah. Kakek Simeon berkata bahwa ia sudah siap pergi dalam damai sejahtera karena matanya telah melihat keselamatan yang Tuhan sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa bangsa lain dan kemuliaan bagi umat Israel.  

Apakah yang dilakukan Anakku adalah harga keselamatan yang harus Ia bayar ? Maria membatin. Ia kemudian menggeleng-gelenggkan kepalanya. Apakah kebrutalan ini perlu untuk memberikan keselamatan kepada segala bangsa ? Apakah kebrutalan ini bisa disebut kemuliaan bagi umat Israel ?

Maria tidak mengerti. Ia sungguh tidak mengerti. Namun seperti biasa, ia menyimpan ketidakmengertiannya di dalam hatinya. Ia tahu bahwa pada waktunya, semua hal akan dibukakan. Ia akan mengerti apa maksud dari semua ini. Sekarang , yang bisa ia lakukan hanyalah bernapas . Ia menarik napas lega karena Anaknya berkata sudah selesai. Lega walaupun hampa.

Selamat jalan Anakku, kata Maria di dalam hati. Sampai bertemu di kemudian hari.  
  
Oleh : Tirsa Tan
Diinspirasikan oleh renungan Paskah karya Billy Gumulja yang berjudul "Inikah Pedang Itu "


No comments:

Post a Comment