Mata Maria sembab dan perih. Air matanya sudah
habis. Hanya sengukan tangis yang terdengar dari mulutnya. Tidak jauh di
depannya, tiga buah salib tegak di atas bukit Golgota. Anaknya berada di
tengah, dengan dua orang penjahat di samping kanan dan kirinya. Dari tempat di
mana ia bersujud, rupa Anaknya sudah tidak bisa dikenali. Wajah Anaknya yang
tampan penuh dengan bengkak, memar dan luka. Darah segar tak henti henti mengucur
dari keningnya yang ditusuk mahkota duri.
Maria ingat ketika Anaknya lahir di kandang domba
di kota Betlehem. Angin malam membuat bayi Yesus kedinginan walaupun ia dibungkus
dengan lampin. Maria menggendongNya dan mendekapNya di dadanya. Ia mencium
keningNya yang mungil. Tidak pernah terlintas di benaknya bahwa di kemudian
hari, 33 tahun kemudian, kening itu berlumuran darah.
Ingin Maria memanjat salib itu dan menurunkan
Anaknya. Kemungkinan besar Anaknya tidak akan tahan lama, mengingat pukulan,
cambukan, dan luka luka yang dideritaNya. Namun mati di tanah , ditemani dengan
segelintir orang yang mengasihi Dia, jauh lebih baik daripada kematian di atas
salib itu.
Perlahan tapi pasti, Maria mendekati salib
itu. Jika ia tidak bisa menurunkan
Anaknya, paling tidak ia berusaha berada sedekat mungkin dengan salib itu.
“Mundur ! “kata seorang prajurit menghentakkan
pedangnya di depan Maria. Ia tidak ingin Maria menyentuh Yesus.
Terhenyak kaget, Maria pun mundur. Hatinya pecah
berkeping-keping. Sepertinya ia ingin berkata bunuh aku saja tapi turunkan
Anakku. Apa salahNya , sampai Dia dihukum seperti itu ? Dia bukan penjahat.Namun
Maria tidak bisa menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya. Kilatan logam dari
pedang memerintakannya untuk menelan perkataannya. Kilatan pedang yang sama membawa
Maria kepada sebuah peristiwa di masa lampau ketika ia dan almarhum Yusuf
membawa Yesus untuk ditahirkan di bait Allah. Seorang kakek tua bernama Simeon
mendatangi mereka. Ia berkata bahwa Anak ini
ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di
Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan.
Kepada Maria kakek Simeon berkata bahwa sebuah pedang akan menembus jiwanya
sendiri.
Tuhan…inikah pedang itu? Melihat Anakku di atas
kayu salib, dengan tangan dan kaki dipaku ? Kenapa ya Tuhan? Sejak Anakku
berumur dua belas tahun dan menginap dua hari di Bait Allah, aku mengerti bahwa
Ia berbeda. Aku mengerti bahwa Ia punya panggilan khusus. Aku mengerti bahwa Ia
terkadang dianggap orang sebagai orang gila atau kerasukan roh jahat. Aku
mengerti bahwa panggilanNya sungguh berbeda dengan apa yang aku duga.
Terdiam, Maria membisu. Namun hatinya
bergemuruh kepada Allah. Tuhan, apakah ini perlu Tuhan? Apakah yang Dia lakukan
sampai harus seperti ini ?
Maria sudah tidak tahan lagi. Ia bangkit dan
menghampiri prajurit yang tadi menyuruhnya mundur.
“Apa yang diperbuat Anakku , sampai Ia
diperlakukan seperti itu ?” teriaknya dengan suara yang parau
Prajurit itu diam. Tidak bisa menjawab
pertanyaan Maria.
“Jawab aku !” teriaknya sambil disertai erangan
dan sedu sedan. Seseorang menariknya dari belakang. Maria yang sebetulnya sudah
lemah karena seharian tidak makan atau minum , pasrah dan mengikuti tangan yang
menariknya. Prajurit yang diteriaki Maria merasa lega karena perempuan setengah baya itu sudah tidak
mencercanya lagi.
“Itu ibunya,” kata prajurit yang lain
“Oh…pantas,” jawab prajurit itu
Yohaneslah yang menariknya, murid kesayangan
Yesus. Murid yang lain sudah terpencar. Semuanya lari dan menyembunyikan diri.
Tidak menyangka bahwa guru mereka mau diperlakukan seperti itu. Mau ditangkap,
dianiaya, diadili, dan disalib. Kalau Ia mau, dengan mudah Ia bisa melarikan
diri. Berjalan di atas air dan meredakan
badai pun Ia sanggup. Melakukan keajaiaban adalah pekerjaanNya
sehari-hari. Tapi sayangnya, dalam hal
ini, gurunya seperti domba yang ditarik ke tempat sembelihan. Tidak berdaya.
Di atas salib itu, bibir Yesus yang kering
bergerak gerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Yohanes menggandeng Maria mendekatiNya.
“Ibu..,” katanya dengan napas yang tersengal.
Mungkin karena menanggung sakit akibat luka dan tikaman penganiayaan di seluruh
penjuru tubuhnya. “Inilah… anakmu,”
Yesus seperti menganggukan kepalaNya. BibirNya
yang pecah itu sepertinya tersenyum kecil.
“Inilah ibumu,” sambungNya. Yohanes mengerti
bahwa perkataan itu adalah untuk dirinya. Yohanes menganggukan kepalanya. Ia
menerima perkataan gurunya tersebut.
Mereka kembali menegadahkan kepala untuk melihat
Yesus yang mereka kasihi terpaku di atas kayu salib. Seorang prajurit mengulurkan
spons basah ke mulut Yesus dengan bantuan galah yang panjang. Yesus yang
kehausan menyambut spons itu, namun kemudian ia memalingkan kepalanya. Ternyata
spons itu bukan dibasahi dengan air,melainkan dengan anggur asam.
“Sudah selesai !” itu perkataan Yesus yang
terakhir di kayu salib. Ia menghembuskan nafas terakhir. Kepalanya pun terkulai.
Maria menarik napas lega. Ia lega bahwa Anaknya
sudah pergi. Ia lega mendengar Anaknya berkata sudah selesai. TugasNya telah
selesai. Sambil menatap jasad Yesus di kayu salib , mata hati Maria menatap
sebuah pemandangan di masa yang lampau, 33 tahun yang lalu , ketika kakek
Simeon menggendong Yesus kecil di bait Allah. Kakek Simeon berkata bahwa ia
sudah siap pergi dalam damai sejahtera karena matanya telah melihat keselamatan
yang Tuhan sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi
penyataan bagi bangsa bangsa lain dan kemuliaan bagi umat Israel.
Apakah yang dilakukan Anakku adalah harga
keselamatan yang harus Ia bayar ? Maria membatin. Ia kemudian menggeleng-gelenggkan
kepalanya. Apakah kebrutalan ini perlu untuk memberikan keselamatan kepada
segala bangsa ? Apakah kebrutalan ini bisa disebut kemuliaan bagi umat Israel ?
Maria tidak mengerti. Ia sungguh tidak mengerti.
Namun seperti biasa, ia menyimpan ketidakmengertiannya di dalam hatinya. Ia
tahu bahwa pada waktunya, semua hal akan dibukakan. Ia akan mengerti apa maksud
dari semua ini. Sekarang , yang bisa ia lakukan hanyalah bernapas . Ia menarik
napas lega karena Anaknya berkata sudah selesai. Lega walaupun hampa.
Selamat jalan Anakku, kata Maria di dalam hati.
Sampai bertemu di kemudian hari.
Oleh : Tirsa Tan
Diinspirasikan oleh renungan Paskah karya Billy Gumulja yang berjudul "Inikah Pedang Itu "
No comments:
Post a Comment