Monday 28 March 2016

Kubur yang Kosong dan Kain yang Digulung Rapi

Sejak penyaliban Guru, Tante Maria menginap di rumahku. Keletihan batin dan fisik yang beliau alami membuat beliau tidak siap untuk diantarkan pulang ke Galielea. Sebetulnya bukan hanya Tante Maria yang seperti itu, aku dan murid murid Guru yang lain pun sama keadaannya.

“Silahkan dimakan rotinya,” kata ibuku dengan lembut kepada Tante Maria.

Tante Maria mengambil roti yang disodorkan ibuku. Digigitnya dan dikunyahnya. Namun dari ekspresi wajahnya, beliau seperti memakan obat yang pahit dan bukan roti yang empuk.
Ibuku merangkul Tante Maria. Aku bersyukur bahwa di tengah kedukaan ini, ibuku bekerja keras untuk membawa rutinitas dan kenormalan kepada kami.

Tok tok tok

Tiba tiba terdengar ketukan di pintu rumahku. Kami bertiga saling perpandangan dengan tatapan panic. Siapakah itu ? Prajurit Romawi ? Preman sewaan kaum Farisi ?

“Yohanes! Buka pintu. Ini Petrus !” terdengar suara yang tidak asing di telingaku

Begitu aku membuka pintu, Petrus langsung menyerbu masuk diikuti dengan Magdalena . Melihat Tante Maria, Magdalena  langsung menghampiri dan memeluk beliau. Petrus pun memelukku sambil berbicara dengan kecepatan tinggi. Pertama tama aku tidak memahami apa yang ia katakan karena ia sangat emosional. Namun kemudian aku mengerti apa yang ia ucapkan.

“Mayat Guru dicuri?” tanyaku

“Magdalena saksinya,” jawab Petrus

Magdalena pun menyambung perkataan Petrus,”Kami datang pagi buta ke kuburan untuk mengurapinya jasad Guru. Tapi begitu sampai di sana, kami lihat batu penutup kubur sudah terguling. Dalamnya kosong, hanya ada kain kafan yang sudah terbuka,”

Mendengar perkataan itu, maka aku pun mengambil mantelku, memakai sandalku dan bersiap-siap pergi.Aku minta ijin kepada ibuku dan Tante Maria. Maka Petrus dan aku bergegas ke kubur Guru, sedangkan Maria Magdalena memilih diam di rumahku untuk berbincang bincang dengan ibuku dan Tante Maria.

Kami berlari menuju ke kubur guru, di Taman Yusuf dari Arimatea, tidak jauh dari bukit Golgota. . Petrus lari di depanku, namun secara perlahan tapi pasti aku menyusulnya. Sambil berlari, aku bertanya di dalam hati mengapa jasad Guru hilang. Apakah dicuri oleh prajurit Romawi atau antek antek orang Farisi? Apakah mereka tidak bisa membiarkan Guru beristirahat dengan tenang? Ataukah Guru menghilang karena Dia hidup lagi? Aku ingat kebangkitan Lazarus serta anak perempuan Yairus. Entahlah yang mana yang sebetulnya terjadi. Aku sungguh tidak tahu.


Akhirnya sampailah aku di kubur Guru. Mendadak gemetarlah aku melihat gua kuburan yang terbuka itu . Aku berhenti di depan kubur kosong. Dari luar aku mengintip ke dalam. Terlihat kain kafan pembungkus jasad Guru tergeletak di tanah. Hidungku berusaha mendeteksi apakah ada bau busuk di dalam gue itu. Tidak, tidak kucium setitikpun bau tidak sedap. Aku hanya mencium wangi residu rempah-rempah yang berasal dari kain kafan Guru.

Kembali benakku sibuk memikirkan kemungkinan kemungkinan yang  terjadi. Mengapa pencuri jasad Guru perlu membuka kain kafanNya? Mengapa mau repot repot ? Bagaimanakah mereka membawa jasad Guru jika kafaNnya sudah dibuka. Bukankah itu sangat mengerikan?  Mungkinkah mereka membawa peti  untuk memindahkan jasaNya ? Atau …Apakah Guru bangkit seperti anak Yairus atau Lazarus?

Di tengah kegalauan pikiranku, sampailah Petrus. Ia menyerbu masuk ke dalam gua kuburan Guru.
“Hanya ada kain kafan!” gumam Petrus

 Dengan hati berdebar aku pun masuk. Kuburan itu gelap, namun tidak gulita. Aku mendekati kain kafan yang tergeletak di tanah , yang dinodai oleh bercak bercak darah serta rempah rempah penguburan. Aku terhenyak di tanah dan memegangi kain kafan itu. Beberapa tetes air membasahi kain kafan itu. Air mataku.

“Yohannes, apa yang sebetulnya terjadi ? “ tanya Petrus sambil menghentakkan kakinya. “Kamu kan murid yang dikasihi Guru, apakah pernah Dia memberikan petunjuk mengenai hal ini? “

Petrus terlihat sangat frustasi dengan raut wajah kebingungan.

“Jika Guru bernasib seperti ini, apa jadinya dengan kita nanti ? “gumamnya lagi

Aku letakkan kain kafan itu ke tanah. Namun kemudian mataku tertuju kepada sebuah gulungan kain yang terletak di pojok dinding gua. Kain tersebut juga ternodai dengan darah, namun digulung dengan rapi seperti tabung. Hatiku yang tadinya remuk berkeping keeping , kini tiba tiba seperti menyatu kembali, lalu meloncat loncat karena melihat gulungan kain itu.

“Petrus, Guru sudah bangkit,”

Petrus terbelalak dan mulutnya menganga. Aku tersenyum. Sebagai murid yang dikasihi oleh Guru, aku sungguh dekat dengan Beliau. Terkadang aku menginap di rumah Guru di Galilea. Guru adalah seorang yang rapi dan teratur. Setelah menggunakan kain untuk mengeringkan wajahNya sehabis mencuci muka atau setelah menggunakan serbet untuk mengelap wajahNya dari remah remah makanan, Guru selalu menggulung kain atau serbet itu dengan rapi. Bahkan setelah mencuci kakiku pada saat makan malam terakhir, Beliau tetap menggulung handuk pengeringnya dengan rapi. Aku masih ingat itu… Dan kain ini..pasti digulung oleh Guru. Berarti Ia sudah bangkit. Tidak ada yang mencuri jasadNya. Ia bangkit. Seperti Lazarus saudara Maria dan Martha. Seperti anak perempuan Yairus. Guru bangkit dari kematian.

Petrus masih tercengang dan terbelalak.

“Ayo pulang. Aku ingin sampaikan kabar gembira ini kepada Tante Maria,” kataku.


Maka pulanglah kami meninggalkan kubur yang kosong dan kain yang digulung dengan rapi itu. Aku tersenyum di sepanjang jalan. Bagaimana dengan Petrus ? Ia tetap tercengang. 

Maret 28,2016 oleh Tirsa Tan
gambar diambil dari website http://worshiphousemedia.s3.amazonaws.com/ dan mudpreacher.org
                                             

Friday 25 March 2016

PEDANG UNTUK MARIA


Mata Maria sembab dan perih. Air matanya sudah habis. Hanya sengukan tangis yang terdengar dari mulutnya. Tidak jauh di depannya, tiga buah salib tegak di atas bukit Golgota. Anaknya berada di tengah, dengan dua orang penjahat di samping kanan dan kirinya. Dari tempat di mana ia bersujud, rupa Anaknya sudah tidak bisa dikenali. Wajah Anaknya yang tampan penuh dengan bengkak, memar dan luka. Darah segar tak henti henti mengucur dari keningnya yang ditusuk mahkota duri.  

Maria ingat ketika Anaknya lahir di kandang domba di kota Betlehem. Angin malam membuat bayi Yesus kedinginan walaupun ia dibungkus dengan lampin. Maria menggendongNya dan mendekapNya di dadanya. Ia mencium keningNya yang mungil. Tidak pernah terlintas di benaknya bahwa di kemudian hari, 33 tahun kemudian, kening itu berlumuran darah.

Ingin Maria memanjat salib itu dan menurunkan Anaknya. Kemungkinan besar Anaknya tidak akan tahan lama, mengingat pukulan, cambukan, dan luka luka yang dideritaNya. Namun mati di tanah , ditemani dengan segelintir orang yang mengasihi Dia, jauh lebih baik daripada kematian di atas salib itu.
Perlahan tapi pasti, Maria mendekati salib itu.  Jika ia tidak bisa menurunkan Anaknya, paling tidak ia berusaha berada sedekat mungkin dengan salib itu.

“Mundur ! “kata seorang prajurit menghentakkan pedangnya di depan Maria. Ia tidak ingin Maria menyentuh Yesus.

Terhenyak kaget, Maria pun mundur. Hatinya pecah berkeping-keping. Sepertinya ia ingin berkata bunuh aku saja tapi turunkan Anakku. Apa salahNya , sampai Dia dihukum seperti itu ? Dia bukan penjahat.Namun Maria tidak bisa menyuarakan apa yang ada di dalam hatinya. Kilatan logam dari pedang memerintakannya untuk menelan perkataannya. Kilatan pedang yang sama membawa Maria kepada sebuah peristiwa di masa lampau ketika ia dan almarhum Yusuf membawa Yesus untuk ditahirkan di bait Allah. Seorang kakek tua bernama Simeon mendatangi mereka. Ia berkata bahwa Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan  atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan. Kepada Maria kakek Simeon berkata bahwa sebuah pedang akan menembus jiwanya sendiri.

Tuhan…inikah pedang itu? Melihat Anakku di atas kayu salib, dengan tangan dan kaki dipaku ? Kenapa ya Tuhan? Sejak Anakku berumur dua belas tahun dan menginap dua hari di Bait Allah, aku mengerti bahwa Ia berbeda. Aku mengerti bahwa Ia punya panggilan khusus. Aku mengerti bahwa Ia terkadang dianggap orang sebagai orang gila atau kerasukan roh jahat. Aku mengerti bahwa panggilanNya sungguh berbeda dengan apa yang aku duga.

Terdiam, Maria membisu. Namun hatinya bergemuruh kepada Allah. Tuhan, apakah ini perlu Tuhan? Apakah yang Dia lakukan sampai harus seperti ini ?



Maria sudah tidak tahan lagi. Ia bangkit dan menghampiri prajurit yang tadi menyuruhnya mundur.

“Apa yang diperbuat Anakku , sampai Ia diperlakukan seperti itu ?” teriaknya dengan suara yang parau

Prajurit itu diam. Tidak bisa menjawab pertanyaan Maria.

“Jawab aku !” teriaknya sambil disertai erangan dan sedu sedan. Seseorang menariknya dari belakang. Maria yang sebetulnya sudah lemah karena seharian tidak makan atau minum , pasrah dan mengikuti tangan yang menariknya. Prajurit yang diteriaki Maria merasa lega karena  perempuan setengah baya itu sudah tidak mencercanya lagi.

“Itu ibunya,” kata prajurit yang lain

“Oh…pantas,” jawab prajurit itu

Yohaneslah yang menariknya, murid kesayangan Yesus. Murid yang lain sudah terpencar. Semuanya lari dan menyembunyikan diri. Tidak menyangka bahwa guru mereka mau diperlakukan seperti itu. Mau ditangkap, dianiaya, diadili, dan disalib. Kalau Ia mau, dengan mudah Ia bisa melarikan diri. Berjalan di atas air dan  meredakan badai pun Ia sanggup. Melakukan keajaiaban adalah pekerjaanNya sehari-hari.  Tapi sayangnya, dalam hal ini, gurunya seperti domba yang ditarik ke tempat sembelihan. Tidak berdaya.

Di atas salib itu, bibir Yesus yang kering bergerak gerak, seperti hendak mengatakan sesuatu. Yohanes menggandeng Maria mendekatiNya.

“Ibu..,” katanya dengan napas yang tersengal. Mungkin karena menanggung sakit akibat luka dan tikaman penganiayaan di seluruh penjuru tubuhnya. “Inilah… anakmu,”

Yesus seperti menganggukan kepalaNya. BibirNya yang pecah itu sepertinya tersenyum kecil.
“Inilah ibumu,” sambungNya. Yohanes mengerti bahwa perkataan itu adalah untuk dirinya. Yohanes menganggukan kepalanya. Ia menerima perkataan gurunya tersebut.


 Walaupun dicambuk, dipaku, disalib, dianiaya, dan dipermalukan, Yesus tetap Yesus. Ia tetap memperhatikan dua orang yang sangat dikasihiNya, Maria dan Yohanes. Meskipun pedang itu menancap di jiwa Maria, Yesus berusaha supaya luka di jiwa ibuNya sembuh. Di tengah penderitaan yang harus ditanggungNya, Yesus masih berusaha menguatkan Maria dan Yohanes.

Mereka kembali menegadahkan kepala untuk melihat Yesus yang mereka kasihi terpaku di atas kayu salib. Seorang prajurit mengulurkan spons basah ke mulut Yesus dengan bantuan galah yang panjang. Yesus yang kehausan menyambut spons itu, namun kemudian ia memalingkan kepalanya. Ternyata spons itu bukan dibasahi dengan air,melainkan dengan anggur asam.

“Sudah selesai !” itu perkataan Yesus yang terakhir di kayu salib. Ia menghembuskan nafas terakhir. Kepalanya pun terkulai.

Maria menarik napas lega. Ia lega bahwa Anaknya sudah pergi. Ia lega mendengar Anaknya berkata sudah selesai. TugasNya telah selesai. Sambil menatap jasad Yesus di kayu salib , mata hati Maria menatap sebuah pemandangan di masa yang lampau, 33 tahun yang lalu , ketika kakek Simeon menggendong Yesus kecil di bait Allah. Kakek Simeon berkata bahwa ia sudah siap pergi dalam damai sejahtera karena matanya telah melihat keselamatan yang Tuhan sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa bangsa lain dan kemuliaan bagi umat Israel.  

Apakah yang dilakukan Anakku adalah harga keselamatan yang harus Ia bayar ? Maria membatin. Ia kemudian menggeleng-gelenggkan kepalanya. Apakah kebrutalan ini perlu untuk memberikan keselamatan kepada segala bangsa ? Apakah kebrutalan ini bisa disebut kemuliaan bagi umat Israel ?

Maria tidak mengerti. Ia sungguh tidak mengerti. Namun seperti biasa, ia menyimpan ketidakmengertiannya di dalam hatinya. Ia tahu bahwa pada waktunya, semua hal akan dibukakan. Ia akan mengerti apa maksud dari semua ini. Sekarang , yang bisa ia lakukan hanyalah bernapas . Ia menarik napas lega karena Anaknya berkata sudah selesai. Lega walaupun hampa.

Selamat jalan Anakku, kata Maria di dalam hati. Sampai bertemu di kemudian hari.  
  
Oleh : Tirsa Tan
Diinspirasikan oleh renungan Paskah karya Billy Gumulja yang berjudul "Inikah Pedang Itu "


Wednesday 23 March 2016

Dear Ibu Berlian Bijaksana,
Lately I paid more attention to my thinking  (imagination)
I became aware that it’s so easy for me to think negatively
Yesterday I passed a city, not far from where a live. I saw many constructions over there. Then…I began to worry.
Would this city with its new development impact my city? It could. People would prefer to live there  instead of my city. When that happened, the property price in my city would drop. My mortgage could have been more expensive than the price of my house. Whoa, that’s bad for my family.

That thinking went on for some times. Suddenly I remembered about fruitful imagination. I said to myself loudly (I was driving alone )
“Hey…stop. My family depends on God, not on the price of houses. If God said he would take care of the sparrows, he would surely take care of my family,”

There, I stopped my depressing imagination.

XOXO
Hopeless Christian
Disclaimer :  Miss Hopeless Christian and Ibu Berlian Bijaksana are both fictional characters. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental )
This post is inspired by Andrew Wommack's book : "Discover the Keys to Staying Full of God"


Dear Hopeless Christian,
I am beyond happy that you stopped the bad thinking 
before it took over your imagination.
Besides stopping, you could also use another strategy such as ignoring the negative thought, talking to God, or even imagining a better version than your negative thinking.

For example
When driving  a new construction, instead of worrying that it will make your house priced lower, you can imagine buying a brand new house. Then you start talk to God and say,” God, it would be nice to have a second house that I can rent out for an added income. If it’s according to your will, may I have one , please? “

You can imagine whatever good thoughts you want, as long as they are aligned with God’s words.

In the book of Genesis, people imagined something  which was against God. People wanted to build a tower that reached the sky. Isn’t it a great imagination?

Genesis 11:6
The Lord said, “If as one people speaking the same language they have begun to do this, then nothing they plan to do will be impossible for them.

The word plan in this verse is imagine in the original language. Even God said that what the plan or imagine will be possible for them. That stressed the importance of imagination.

But their imagination or plan to build the Babel tower was against God’s plan for human to spread out. In the end God changed their language so they cannot understand each other.

So we must take a deeper look of our imagination, evaluate it if according to Go’s will or not. If it is, then go ahead. If it’s not, do not engage yourself with that thought.

2 Corinthias 10:5  said," We demolish arguments and every pretension that sets itself up against the knowledge of God, and we take captive every thought to make it obedient to Christ"

Let’s imagine the good thing , the things that God agree . Untill later, dear Hopeless Christian

In Christ,
Ibu Berlian Bijaksana
Disclaimer :  Miss Hopeless Christian and Ibu Berlian Bijaksana are both fictional characters. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental )
This post is inspired by Andrew Wommack's book : "Discover the Keys to Staying Full of God"

Tuesday 22 March 2016

KETIKA AKU JOMBLO


Kuusap air mata yang menitik di pipi dengan tissue
Beginilah nasib seorang jomblo
Tuhan mana? Nggak kerasa tuh
Yang aku rasa cuma sakit
Memang aku sedang linu di bagian pinggang
Ada urat kejepit sepertinya
Mau ke dokter,dompet sedang tipis
Mana kesembuhan yang dijanjikan di Alkitab yah ?
Aku percaya dengan janji Tuhan, tapi kok tidak terjadi
Apakah Tuhan meninggalkanku ?

Ada lagi yang bikin gondok di hati
Aku digosipin sama teman eks kuliah di whatsapp 
Aku dibilang senang cari muka dan sombong.
Daripada membatin, akhirnya aku keluar saja dari group itu

Di kantor pun aku ada masalah
Aku sudah kerja keras melakukan tugasku,
tapi manajerku bilang itu karya dia. Namanya jadi cemerlang
Aku cuma gigit jari..

Kok tidak ada keadilan buat aku?
Apakah Tuhan meninggalkanku ?

Yang paling memprihatinkan ialah statusku
semenjak putus cinta tahun lalu
Tidak ada pengganti yang kunjung datang

Kok tidak ada jodoh buat aku ?
Apakah Tuhan tidak sayang denganku ?

Perasaan campur aduk mendidih di hati…
Akhirnya malah meledak dan  kutendang meja tulisku
Gubraks klontang klenting,bruk, brak, grompyang
Aduh aduh… kakiku jadi ngilu kena kaki meja  itu

 Sambil terpincang pincang
aku naik ke atas ranjang.
Aku pejamkan mataku.
Sebodo amat. Lebih baik aku tidur daripada memikirkan nasibku

Sepertinya aku tidur sebentar,
Namun setelah melihat jam dinding, ternyata cukup lama
Kutatap kamarku yang berantakan.
Meja tulis yang terguling dan buku buku yang terserak di lantai

Aku tegakkan meja tulisku, kembali pada posisinya yang semula.
Ku bereskan barang barang yang jatuh.
Buku, alat tulis, pajangan, dan kertas-kertas.
Saat berbenah, aku menemukan Alkitab, hadiah dari mamaku saat aku dibaptis.

Alkitab itu terbuka pada bagian Mazmur 13. 
13 itu angka sial kan?  Beginilah isinya:
Berapa lama lagi, TUHAN, Kaulupakan aku terus-menerus ? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu  terhadap aku? Berapa lama lagi aku harus menaruh kekuatiran dalam diriku, dan bersedih hati sepanjang hari? Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku? Pandanglah kiranya, jawablah aku, ya TUHAN, Allahku! Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dan mati, supaya musuhku jangan berkata: "Aku telah mengalahkan dia, " dan lawan-lawanku bersorak-sorak, apabila aku goyah. Tetapi aku, kepada kasih  setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu . Aku mau menyanyi untuk TUHAN, karena Ia telah berbuat baik kepadaku.

Kasihan Raja Daud
Di bagian awalnya, ia sepertinya desperado sekali.
Padahal Raja Daud kan disebut sebagai orang yang mengenal hati Tuhan.
Lha kalau dia saja begitu, apalagi aku, yang hanyalah orang biasa.
Tapi pada akhirnya, Raja Daud tetap percaya kepada kasih setia Tuhan.

Hhmmm, mungkin itu yang harus kulakukan, 
aku harus percaya kepada kasih setiaNya.


Beberapa pembatas Alkitab berserakan di lantai saat Alkitabku jatuh.
Yang berwarna pink dengan gambar bunga mawar 
adalah kartu ulang tahun dari temanku.
Bagian belakang pembatas alkitab itu bertuliskan:

“Happy Birthday Anjani, semoga berbahagia di hari yang indah ini! 
Love: Dwika,”
Di bagian depannya tercetak ayat dari Hebrew 11:1
Faith is the substance of things hoped for, the evidence of things not seen

Hah… apakah itu adalah jawaban dari kejombloanku?
Iman …dasar dari yang aku harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak aku lihat

Terus terang , karena kemalanganku yg bertubi tubi,
aku tidak bisa merasakan kasih Tuhan.
Bahkan aku jadi ragu akan keberadaanNya

Tetapi jika aku tinjau lagi dari ayat yang tertera di pembatas Alkitab itu
Iman… adalah jawabannya
Iman …karena aku tidak bisa melihatNya dan merasakan kasihNya saat ini
Iman…karena aku berharap satu hari kelak aku akan mendapat jodoh
Iman…karena aku berharap nanti aku akan dipromosikan dalam pekerjaan
Iman…karena aku berharap bisa baikan dengan teman eks kuliah
Apakah bukti bahwa harapanku akan terkabul ? jawabannya ialah iman

 Ah…..
Aku merasa lega. Mataku kembali memandangi pembatas Alkitabku. Banyak juga koleksiku. Maklumlah, dulu aku kan sering memberi dan diberi pembatas Alkitab oleh teman teman gereja. Ah bagaimana kabarnya merekanya ? Aku sudah lama tidak kontak dengan mereka.

Sebuah pembatas alkitab yang berwarna ungu dengan foto seorang gadis kecil di padang rumput menarik perhatianku. Ayat dari Keluaran 31:8 tertera di foto itu.
 “Sebab TUHAN, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan janganlah patah hati."

Ah senangnya ! Ternyata aku tidak ditinggalkan sendirian. Aku tidak jomblo rohani. Pacarku bisa pergi. Temanku bisa pergi. Kerjaku bisa disabot. Dompetku dapat kosong. Pinggangku mungkin sakit. Namun Tuhan tetap menyertai aku.

Kamarku sudah teratur lagi. Hatiku pun tentram kembali. Kini saatnya kuucapkan doa terimakasihku.

“Terimakasih Tuhan, atas penyertaanMu. Walaupun aku tidak merasakannya, walaupun situasiku buruk, aku yakin bahwa segala sesuatu akan menjadi baik. Amin,”

22 Maret 2016 , Sabatini Chen




Wednesday 2 March 2016

FRUITFUL IMAGINATION

Dear Hopeless Christian,
Thanks for sharing your shoveling experience.I am happy to know that you are applying the first key. Keep doing it, who knows later you will want to change your name into Hopeful Christian.



Now, let’s talk about the third key: fruitful imagination. Rome 1:21 says the ungodly people have futile thinking. The word “thinking” or dialogismos in this verse can also be translated as imagination.

Imagination is usually talked about in children education.It’s good for the children to use their imagination. They play pretend and make believe.They imagine themselves to be a pirate or a princess or a superhero.

As a Christian, unfortunately, we seldom talk about imagination.Imagination is the ability to see with our heart what we can’t see with our eyes. We use our imagination every day. 
     
For example; when someone asks you how many doors you have in your home, you will imagine your house and start to count the doors. 
When someone say the word apple, in your mind, you will see a picture of an apple, maybe a red one or a green one if you like green apple.
     
In other words, imagination is a combination of how you think, how you meditate and how you remember things.

Isaiah 26:3 says,“You will keep him in perfect peace whose mind is stayed on You because he trusts in You.” 

The word mind in this verse has another meaning  which is imagination. God will give us peace if our imagination is aligned with His way, His promises and His will.

To have our imagination aligned with God, of course the first and foremost we have to know God, his will, his promises and the way He’s operating. We can learn about all these in the Bible.

Let's examine our imagination. For example when it's snowing hard, what do you think in your imagination ? You can imagine you have an accident because the road is slippery. You can imagine you hit the car in front of you because your car doesn't stop when you brake. Because of that imagination you became stressful and worried when it's snowing. That is an example futile imagination. 

When the futile thinking appears in our imagination, we can choose to stop ourselves from thinking about it further. We can concentrate about God's promises instead. 

Psalm 32:7 comes in handy when travelling in bad weather. You are my hiding place,you will protect me from trouble and surround me with songs of deliverance

Dear Hopeless Christian, that’s all for now. I wish we train our imagination to be fruitful and not futile.

In Christ,
Ibu Berlian Bijaksana

Disclaimer :  Miss Hopeless Christian and Ibu Berlian Bijaksana are both fictional characters. Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental )
This post is inspired by Andrew Wommack's book : "Discover the Keys to Staying Full of God"

Dear Ibu Berlian Bijaksana,

photo courtesy of Juliani Soegandhi
Your letters warm my soul in this dreary 
Michigan winter. I started to apply the first key of living a God filled life. 
Last week it snowed for two whole days. 
I have no snowblower. 
I had to use my old shovel to clear my driveway. 
The idea of shoveling early in the chilly morning made my blood boil. 

I was just about to curse the snow. 
But then I remembered the first principle: 
Glorifying God, magnifying God's ordinary thing, ordinary thing such as snow.
I know for a fact that every snowflake is unique
Then I said in my heart,
"God de every snowflake different and unique,  and my driveway is full of them.Wonderful !"

I started to shovel the snow, and I felt lighter inside. 
"Thanks God, the snow is good for the ground and trees," I said again in my heart. "Thanks God, because of the snow, I have a free exercise !"

20 minutes of shovelling the snow went by quickly that morning. Thanks to the first key : glorifying God. 

With regards,
Hopeless Christian