Sejak penyaliban Guru, Tante Maria menginap di
rumahku. Keletihan batin dan fisik yang beliau alami membuat beliau tidak siap
untuk diantarkan pulang ke Galielea. Sebetulnya bukan hanya Tante Maria yang
seperti itu, aku dan murid murid Guru yang lain pun sama keadaannya.
“Silahkan dimakan rotinya,” kata ibuku dengan
lembut kepada Tante Maria.
Tante Maria mengambil roti yang disodorkan ibuku.
Digigitnya dan dikunyahnya. Namun dari ekspresi wajahnya, beliau seperti
memakan obat yang pahit dan bukan roti yang empuk.
Ibuku merangkul Tante Maria. Aku bersyukur bahwa
di tengah kedukaan ini, ibuku bekerja keras untuk membawa rutinitas dan
kenormalan kepada kami.
Tok tok tok
Tiba tiba terdengar ketukan di pintu rumahku.
Kami bertiga saling perpandangan dengan tatapan panic. Siapakah itu ? Prajurit
Romawi ? Preman sewaan kaum Farisi ?
“Yohanes! Buka pintu. Ini Petrus !” terdengar
suara yang tidak asing di telingaku
Begitu aku membuka pintu, Petrus langsung
menyerbu masuk diikuti dengan Magdalena . Melihat Tante Maria, Magdalena langsung menghampiri dan memeluk beliau.
Petrus pun memelukku sambil berbicara dengan kecepatan tinggi. Pertama tama aku
tidak memahami apa yang ia katakan karena ia sangat emosional. Namun kemudian
aku mengerti apa yang ia ucapkan.
“Mayat Guru dicuri?” tanyaku
“Magdalena saksinya,” jawab Petrus
Magdalena pun menyambung perkataan Petrus,”Kami
datang pagi buta ke kuburan untuk mengurapinya jasad Guru. Tapi begitu sampai
di sana, kami lihat batu penutup kubur sudah terguling. Dalamnya kosong, hanya
ada kain kafan yang sudah terbuka,”
Mendengar perkataan itu, maka aku pun mengambil
mantelku, memakai sandalku dan bersiap-siap pergi.Aku minta ijin kepada ibuku
dan Tante Maria. Maka Petrus dan aku bergegas ke kubur Guru, sedangkan Maria Magdalena
memilih diam di rumahku untuk berbincang bincang dengan ibuku dan Tante Maria.
Kami berlari menuju ke kubur guru, di Taman
Yusuf dari Arimatea, tidak jauh dari bukit Golgota. . Petrus lari di depanku,
namun secara perlahan tapi pasti aku menyusulnya. Sambil berlari, aku bertanya
di dalam hati mengapa jasad Guru hilang. Apakah dicuri oleh prajurit Romawi
atau antek antek orang Farisi? Apakah mereka tidak bisa membiarkan Guru
beristirahat dengan tenang? Ataukah Guru menghilang karena Dia hidup lagi? Aku
ingat kebangkitan Lazarus serta anak perempuan Yairus. Entahlah yang mana yang
sebetulnya terjadi. Aku sungguh tidak tahu.
Akhirnya sampailah aku di kubur Guru. Mendadak gemetarlah
aku melihat gua kuburan yang terbuka itu . Aku berhenti di depan kubur kosong. Dari
luar aku mengintip ke dalam. Terlihat kain kafan pembungkus jasad Guru
tergeletak di tanah. Hidungku berusaha mendeteksi apakah ada bau busuk di dalam
gue itu. Tidak, tidak kucium setitikpun bau tidak sedap. Aku hanya mencium wangi
residu rempah-rempah yang berasal dari kain kafan Guru.
Kembali benakku sibuk memikirkan kemungkinan
kemungkinan yang terjadi. Mengapa pencuri
jasad Guru perlu membuka kain kafanNya? Mengapa mau repot repot ? Bagaimanakah
mereka membawa jasad Guru jika kafaNnya sudah dibuka. Bukankah itu sangat
mengerikan? Mungkinkah mereka membawa
peti untuk memindahkan jasaNya ? Atau …Apakah
Guru bangkit seperti anak Yairus atau Lazarus?
Di tengah kegalauan pikiranku, sampailah Petrus.
Ia menyerbu masuk ke dalam gua kuburan Guru.
“Hanya ada kain kafan!” gumam Petrus
“Yohannes, apa yang sebetulnya terjadi ? “ tanya
Petrus sambil menghentakkan kakinya. “Kamu kan murid yang dikasihi Guru, apakah
pernah Dia memberikan petunjuk mengenai hal ini? “
Petrus terlihat sangat frustasi dengan raut
wajah kebingungan.
“Jika Guru bernasib seperti ini, apa jadinya
dengan kita nanti ? “gumamnya lagi
Aku letakkan kain kafan itu ke tanah. Namun
kemudian mataku tertuju kepada sebuah gulungan kain yang terletak di pojok dinding gua. Kain
tersebut juga ternodai dengan darah, namun digulung dengan rapi seperti tabung. Hatiku yang tadinya remuk berkeping keeping , kini tiba
tiba seperti menyatu kembali, lalu meloncat loncat karena melihat gulungan kain itu.
“Petrus, Guru sudah bangkit,”
Petrus terbelalak dan mulutnya menganga. Aku
tersenyum. Sebagai murid yang dikasihi oleh Guru, aku sungguh dekat dengan
Beliau. Terkadang aku menginap di rumah Guru di Galilea. Guru adalah seorang
yang rapi dan teratur. Setelah menggunakan kain untuk mengeringkan wajahNya
sehabis mencuci muka atau setelah menggunakan serbet untuk mengelap wajahNya
dari remah remah makanan, Guru selalu menggulung kain atau serbet itu dengan rapi. Bahkan setelah mencuci kakiku pada
saat makan malam terakhir, Beliau tetap menggulung handuk pengeringnya dengan rapi. Aku
masih ingat itu… Dan kain ini..pasti digulung oleh Guru. Berarti Ia sudah
bangkit. Tidak ada yang mencuri jasadNya. Ia bangkit. Seperti Lazarus saudara Maria
dan Martha. Seperti anak perempuan Yairus. Guru bangkit dari kematian.
Petrus masih tercengang dan terbelalak.
“Ayo pulang. Aku ingin sampaikan kabar gembira
ini kepada Tante Maria,” kataku.
Maka pulanglah kami meninggalkan kubur yang kosong dan kain yang digulung dengan rapi itu. Aku tersenyum di sepanjang jalan. Bagaimana dengan Petrus ? Ia tetap tercengang.
Maret 28,2016 oleh Tirsa Tan
gambar diambil dari website http://worshiphousemedia.s3.amazonaws.com/ dan mudpreacher.org